Kamis, 19 Juni 2008

Profesor Belanda: Psikologi ala Darwin Ternyata Keliru


Ilmu psikologi yang dijelaskan berlandaskan teori evolusi Darwin
ternyata keliru, kata para pakar. Metoda dan datanya tidak bisa
dijadikan bukti. Psikologi evolusioner ala Darwin mulai tumbang !

Hidayatullah.com–Pakar biologi asal Belanda, Johan J. Bolhuis, yang
juga presiden Royal Dutch Zoological Society, baru-baru ini menulis di
terbitan ilmiah pro-evolusi terkemuka, Science, 6 Juni 2008. Di jurnal
itu, profesor di Institute of Biology, Leiden University, Belanda ini
membedah sebuah buku penting yang baru terbit, Evolutionary Psychology
as Maladapted Psychology (Psikologi Evolusioner sebagai Psikologi
Salah Tempat), karya Robert C. Richardson.

Buku tersebut membongkar kekeliruan penerapan teori evolusi Darwin di
bidang psikologi. Pendekatan evolusi ini menarik perhatian kalangan
masyarakat luas karena, sebagaimana dituturkan Bolhuis, seringkali
menyentuh bahasan-bahasan seperti birahi manusia, seks dan nafsu.

Psikologi ala Darwin

Dalam ulasannya yang berjudul "Psychology: Piling On the Selection
Pressure" di majalah Science itu, Johan J Bolhuis menyatakan bahwa
Charles Darwin memperluas cakupan teori evolusi dalam buku The Origin
of Species-nya untuk menjelaskan kemampuan berpikir pada manusia. Ini
dituangkan Darwin dalam bukunya yang lain, The Descent of Man, di mana
Darwin berpendapat bahwa sifat-sifat pada diri manusia seperti
moralitas dan emosi muncul melalui evolusi.

Dalam perkembangan selanjutnya, para pakar di bidang psikologi yang
datang kemudian lalu mengekor jejak sang guru Charles Darwin, berusaha
menerapkan teori evolusi untuk menjelaskan akal pikiran manusia, atau
yang dikenal dengan istilah evolutionary psychology (psikologi
evolusioner, yakni psikologi yang dijelaskan menurut teori evolusi).
Lebih khusus lagi, psikologi evolusioner mengemukakan bahwa akal
pikiran manusia terdiri dari simpul-simpul daya pikir yang berevolusi
sebagai tanggapan atas tekanan seleksi yang dihadapi nenek moyang
manusia pada Zaman Batu.

Evolusi adalah ideologi

Awalnya berupaya menjelaskan asal usul keanekaragaman makhluk hidup
dengan menihilkan pencipta, teori evolusi pun lalu merambah ke ranah
psikologi manusia. Ini menyiratkan betapa evolusi bukanlah sekedar
teori di bidang biologi semata. Lebih luas dari itu, evolusi adalah
ideologi atau akidah ateis materialis, yang diterima benar secara
dogmatis, meski tanpa bukti nyata, dan dijadikan penganutnya sebagai
cara pandang serta pijakan dalam mengembangkan ilmu-ilmu lain,
termasuk psikologi manusia.

Karena dijadikan landasan dogma tanpa bukti di bidang psikologi
evolusioner, tidak heran jika terjadi kejumudan dengan menolak
penjelasan selainnya. Bolhuis menegaskan permasalahan penting ini:

"The main problem with evolutionary psychology is that it usually does
not consider alternative explanations but takes the assumption of
adaptation through natural selection as given."

Permasalahan utama dengan psikologi evolusioner adalah biasa tidak
dipertimbangkannya penjelasan-penjelasan alternatif tapi menjadikan
anggapan (asumsi) adaptasi melalui seleksi alam sebagai kebenaran yang
wajib diterima.

Perkataan di atas adalah bukti jelas yang menggambarkan sifat teori
evolusi yang tidak mencerminkan teori ilmiah, melainkan akidah, dogma
ataupun ideologi yang wajib diterima dengan menutup diri dari
penjelasan lain.

Tak punya bukti

Sang pengarang buku Evolutionary Psychology as Maladapted Psychology,
Robert Richardson, adalah pendukung evolusi, yang percaya bahwa
kemampuan psikologis manusia merupakan sifat yang terevolusi. Meskipun
begitu, filsuf asal University of Cincinnati itu menyatakan bahwa
penafsiran psikologi evolusioner dari sudut pandang biologi evolusi
adalah salah. Richardson sampai pada kesimpulan tersebut berdasarkan
kajiannya yang berpegang teguh pada ilmu pengetahuan, terutama pada
metoda-metoda ilmiah yang digunakan dalam penelitian di bidang tersebut.

Menurut Bolhuis, karya Richardson ini merupakan pelengkap karya yang
telah terbit sebelumnya, yang juga memberikan bantahan telak terhadap
penerapan teori evolusi selama ini di bidang psikologi. Karya yang
lebih dulu terbit tahun 2005 itu berjudul Adapting Minds (Akal Yang
Beradaptasi), yang juga karya pendukung evolusi, David Buller, pakar
filsafat asal Northern Illinois University. Berbeda dari Richardson,
karya Buller lebih terperinci, menitikberatkan pada bukti-bukti dan
memberikan penafsiran lain.

Para pakar psikologi evolusioner seringkali bersikukuh dengan pendapat
mereka hingga timbul kesan bahwa kemampuan nalar manusia hanya dapat
dipahami berdasarkan sejarah evolusi manusia. Akan tetapi dalam
kajiannya, sebagaimana dituangkan di banyak tempat dalam bukunya
Evolutionary Psychology as Maladaptive Psychology, Richardson
berkesimpulan bahwa tidak ada bukti sejarah yang dapat digunakan untuk
merekonstruksi evolusi kemampuan berpikir manusia.

Contoh nyatanya adalah kemampuan berbahasa pada manusia. Penjelasan
yang cenderung digunakan dalam psikologi evolusioner adalah bahwa
proses evolusi mendorong kemunculan keterampilan berbahasa tersebut
untuk digunakan dalam kelompok masyarakat kompleks. Dengan kata lain,
ada kebutuhan akan bahasa. Richardson berpendapat bahwa para pakar
fosil mustahil akan menemukan bukti-bukti yang dapat memberikan
informasi tentang tatanan sosial masyarakat nenek moyang manusia.

Rekaan belaka

Bahkan kalaupun bukti-bukti yang diperlukan dalam pengkajian kemampuan
berpikir manusia berdasarkan psikologi evolusioner dapat dikumpulkan,
hal ini tidak akan menghasilkan pengetahuan tentang mekanisme
kemampuan berpikir manusia, ulas Bolhuis yang juga menjabat sebagai
profesor tamu di Department of Zoology, University of Salzburg,
Austria. Sebab, kajian tentang evolusi berkutat pada rekonstruksi
sejarah sifat-sifat manusia.

Kajian tersebut tidak, dan tidak dapat, menelaah mekanisme yang
terlibat pada otak manusia, yang merupakan bidang kajian ilmu saraf
dan psikologi kognitif. Dengan demikian pengkajian psikologi
berlandaskan teori evolusi tidak akan pernah berhasil, karena berupaya
menjelaskan mekanisme-mekanisme tapi secara tidak tepat mengacu pada
sejarah mekanisme-mekanisme tersebut. Ini diibaratkan sang pengarang
seperti menjelaskan struktur tanaman anggrek dengan merujuk pada
keindahannya.

Di akhir ulasannya mengenai buku Evolutionary Psychology as Maladapted
Psychology (Psikologi Evolusioner sebagai Psikologi Salah Tempat),
profesor Bolhuis mengatakan bahwa hasil kajian Richardson mengungkap
betapa kajian psikologi berdasarkan teori evolusi sebagian besarnya
adalah rekaan semata:

In this excellent book, Richardson shows very clearly that attempts at
reconstruction of our cognitive history amount to little more than
"speculation disguised as results."

Dalam buku luar biasa ini, Richardson memperlihatkan dengan sangat
gamblang bahwa upaya-upaya dalam penyusunan ulang sejarah kemampuan
berpikir kita sedikit lebih dari "rekaan yang disamarkan sebagai
hasil." (Science 6 Juni 2008, Vol. 320. no. 5881, hal. 1293).

Atau sebagaimana diulas pula dalam editorial buku terbitan The MIT
Press (http://mitpress.mit.edu) tersebut:

It is speculation rather than sound science–and we should treat its
claims with skepticism. ([Psikologi evolusioner] itu lebih merupakan
rekaan daripada ilmu pengetahuan yang mapan – dan kita sepatutnya
memperlakukan pernyataan-pernyataannya dengan keraguan).

Mudah-mudahan psikologi evolusioner yang terbukti keliru ini, namun
telah lama diajarkan di dunia akademis, tak terkecuali di lembaga
pendidikan tinggi terkemuka di Indonesia, semakin mendapatkan
pencerahan alternatif. Semoga. [as/science/MITpress/www.hidayatullah.com]

original source: http://www.sciencemag.org/cgi/content/full/320/5881/1293

Tidak ada komentar: