Rabu, 27 Agustus 2008

WHY TO MOVE


WHY TO MOVE

Mengapa karyawan meningggalkan perusahaan (atau paling tidak sering ngedumel)? Berikut ini petikan dari bukunya Haris Priyatna yang berjudul Azim Premji, "Bill Gates" dari India (terbitan Mizania 2007).

Azim Premji adalah milyuner muslim dari India yang telah menyulap  Wipro, dari sebuah perusahaan minyak goreng menjadi konglomerasi  perusahaan dengan salah satunya adalah Wipro Technologies yang merupakan ikon  kebangkitan industri teknologi informasi di India. Dia urutan ke-21 orang  terkaya di dunia versi Forbes 2007. Azim dikenal sebagai milyuner yang  bergaya hidup sederhana.

Berikut ini pandangan Premji tentang mengapa karyawan betah dan  tidak betah dengan perusahaan. Wipro sendiri memiliki tinkat turn-over  (kepindahan) karyawan yang sangat rendah, padahal gajinya tidak lebih tinggi dibandingkan perusahaan sejenis seperti Infosys dan TCS.

Mengapa KARYAWAN meninggalkan perusahaan?

Banyak perusahaan yang mengalami persoalan tingginya tingkat  pergantian karyawan. Betapa orang mudah keluar-masuk perusahaan itu. Orang  meninggalkan perusahaan untuk gaji yang lebih besar, karier yang lebih  menjanjikan, lingkungan kerja yang lebih nyaman, atau sekedar alasan pribadi. Tulisan ini mencoba menjelaskan persoalan ini.

Belum lama ini, Sanjay, seorang teman lama yang merupakan desainer  software senior, mendapatkan tawaran dari sebuah perusahaan internasional  prestisius untuk bekerja di cabang operasinya di India sebagai pengembang  software. Dia tergetar oleh tawaran itu. Sanjay telah mendengar banyak tentang  CEO perusahaan ini, pria karismatik yang sering dikutip di berita- berita bisnis karena sikap visionernya. Gajinya hebat. Perusahaan itu memiliki  kebijakan SDM ramah karyawan yang bagus, kantor yang masih baru, dan  teknologi mutakhir, bahkan sebuah kantin yang menyediakan makanan lezat.

Sanjay segera menerima tawaran itu. Dua kali dia dikirim ke luar  negeri untuk pelatihan. "Saya sekarang menguasai pengetahuan yang paling  baru", katanya tak lama setelah bergabung. Ini betul-betul pekerjaan yang  hebat dengan teknologi mutakhir. Ternyata, kurang dari delapan bulan  setelah dia bergabung, Sanjay keluar dari pekerjaan itu. Dia tidak punya  tawaran lain di tangannya, tetapi dia mengatakan tidak bisa bekerja di sana lagi.  Beberapa orang lain di departemennya pun berhenti baru-baru ini.

Sang CEO pusing terhadap tingginya tingkat pergantian karyawan.  Dia pusing akan uang yang dia habiskan dalam melatih mereka. Dia bingung  karena tidak tahu apa yang terjadi. Mengapa karyawan berbakat ini pergi walaupun gajinya besar ? Sanjay berhenti untuk satu alasan yang sama yang mendorong  banyak orang berbakat pergi. Jawabannya terletak pada salah satu  penelitian terbesar yang dilakukan oleh Gallup Organization. Penelitian ini  menyurvei lebih dari satu juta karyawan dan delapan puluh ribu manajer, lalu dipublikasikan dalam sebuah buku berjudul First Break All the  Rules.

Penemuannya adalah sebagai berikut:

Jika orang-orang yang bagus meninggalkan perusahaan, lihatlah  atasan langsung/tertinggi di departemen mereka. Lebih dari alasan apapun,  dia adalah alasan orang bertahan dan berkembang dalam organisasi. Dan  dia adalah alasan mengapa mereka berhenti, membawa pengetahuan, pengalaman,  dan relasi bersama mereka. Biasanya langsung ke pesaing. Orang meninggalkan manajer/direktur anda, bukan perusahaan, tulis Marcus Buckingham  dan Curt Hoffman penulis buku First Break All the Rules.

Begitu banyak uang yang telah dibuang untuk menjawab tantangan mempertahankan orang yang bagus - dalam bentuk gaji yang lebih besar, fasilitas dan pelatihan yang lebih baik. Namun, pada akhirnya,  penyebab kebanyakan orang keluar adalah manajer. Kalau Anda punya masalah  pergantian karyawan yang tinggi, lihatlah para manajer/direktur Anda terlebih  dahulu.
Apakah mereka membuat orang-orang pergi? Dari satu sisi, kebutuhan  utama seorang karyawan tidak terlalu terkait dengan uang, dan lebih  terkait dengan bagaimana dia diperlakukan dan dihargai. Kebanyakan hal ini  bergantung langsung dengan manajer di atasnya.

Uniknya, bos yang buruk tampaknya selalu dialami oleh orang-orang  yang bagus. Sebuah survei majalah Fortune beberapa tahun lalu menemukan  bahwa hampir 75 persen karyawan telah menderita di tangan para atasan  yang sulit. Dari semua penyebab stres di tempat kerja, bos yang buruk  kemungkinan yang paling parah. Hal ini langsung berdampak pada kesehatan emosional  dan produktivitas karyawan. Pakar SDM menyatakan bahwa dari semua  bentuk tekanan, karyawan menganggap penghinaan di depan umum adalah hal  yang paling tidak bisa diterima. Pada kesempatan pertama, seorang karyawan  mungkin tidak pergi, tetapi pikiran untuk melakukannya telah tertanam. Pada saat  yang kedua, pikiran itu diperkuat. Saat yang ketiga kalinya, dia mulai  mencari pekerjaan yang lain. Ketika orang tidak bisa membalas kemarahan  secara terbuka, mereka melakukannya dengan serangan pasif, seperti: dengan membandel dan memperlambat kerja, dengan melakukan apa yang  diperintahkan saja dan tidak memberi lebih, juga dengan tidak menyampaikan  informasi yang krusial kepada sang bos.  Seorang pakar manajemen mengatakan, jika Anda bekerja untuk atasan  yang tidak menyenangkan, Anda biasanya ingin membuat dia mendapat  masalah. Anda tidak mencurahkan hati dan jiwa di pekerjaan itu. Para manajer  bisa membuat karyawan stres dengan cara yang berbeda-beda: dengan terlalu  mengontrol, terlalu curiga, terlalu mencampuri, sok tahu, juga terlalu  mengecam. Mereka lupa bahwa para pekerja bukanlah aset tetap, mereka adalah agen  bebas. Jika hal ini berlangsung terlalu lama, seorang karyawan akan berhenti – biasanya karena masalah yang tampak remeh. Bukan pukulan ke-100 yang  merobohkan seorang yang baik, melainkan 99 pukulan sebelumnya. Dan meskipun  benar bahwa orang meninggalkan pekerjaan karena berbagai alasan, untuk  kesempatan yang lebih baik atau alasan khusus, mereka yang keluar itu sebetulnya  bisa saja bertahan, kalau bukan karena satu orang yang mengatakan kepada  mereka, seperti yang dilakukan bos Sanjay: Kamu tidak penting.  Saya bisa  mencari puluhan orang seperti kamu. Meskipun tampaknya mudah mencari karyawan, pertimbangkanlah untuk sesaat biaya kehilangan seorang karyawan yang berbakat. Ada biaya untuk  mencari penggantinya. Biaya melatih penggantinya. Biaya karena tidak  memiliki seseorang untuk melakukan pekerjaan itu sementara waktu.  Kehilangan klien dan relasi yang telah dibina oleh orang tersebut. Kehilangan moril  sejawat kerjanya. Kehilangan rahasia perusahaan yang mungkin sekarang  dibocorkan oleh orang tersebut kepada perusahaan lain. Plus, tentu saja,  kehilangan reputasi perusahaan. Setiap orang yang meninggalkan sebuah  korporasi akan menjadi dutanya, entah tentang kebaikan atau keburukan.

Demikian pesan Azim Premji. Bagaimana pendapat Anda (sebagai  bawahan maupun atasan) ?

 

Tidak ada komentar: