Minggu, 25 Mei 2008

Bukti Bahwa Kita Pernah Ada


Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.

Sekalipun tidak pernah melihat dinosuarus secara langsung, anda
percaya bahwa mahluk itu memang pernah menghuni bumi kita. Apakah
anda juga percaya bahwa mahluk-mahluk dalam film fiksi ilmiah
seperti naga penyembur api dan kuda unicorn benar-benar pernah ada
dibumi ini? Saya yakin anda sependapat bahwa itu hanyalah mahluk
khayalan belaka. Anda tidak pernah melihat langsung dinosaurus.
Tidak juga unicorn atau naga. Tetapi, mengapa anda yakin bahwa
dinosaurus pernah ada sedangkan yang lainnya sekedar dongeng saja?
Itu karena kita semua dapat menemukan jejak dinosaurus berupa fosil-
fosil yang ditinggalkannya. Naga dan Unicorn? Tidak. Kesimpulannya
tentu saja; Ada bukti bahwa dinosaurus pernah ada. Lantas, bagaimana
dengan kita?

Alkisah, Tuhan mengijinkan setiap orang beriman yang sudah meninggal
untuk berkunjung ke dunia. Hanya satu kali. Hanya satu hari. Mereka
boleh menggunakan kesempatan itu untuk melakukan apa saja didunia
ini. Biasanya mereka berkunjung menemui sanak famili dan orang-orang
terkasihnya, untuk sekedar melakukan satu hal yang ingin
dilakukannya terakhir kali. Namun, mereka tidak bisa berkomunikasi
kecuali dengan anak-anak kecil. Karena kebanyakan orang dewasa tidak
bisa merasakan kehadirannya. Salah satu dari orang beriman itu
keluar dari pintu sorga, lalu terbang menuju rumah dimana orang-
orang yang dikasihinya tinggal. Sesampai didepan rumah, dia mengetuk
pintu sambil berucap salam.

"Bunda, ada tamu." Kata cucunya yang lucu. Bundanya bilang "Mana?"
Lalu dia kembali kedapur. Sekali lagi orang beriman itu mengucap
salam. "Ayah, ada tamu." Kata sang cucu lagi. Ayahnya tersenyum.
Lalu melanjutkan membaca koran. Orang itu sekali lagi mengucap
salam. Dan kali ini sang cucu membalas salamnya sambil berlari
kearah pintu. "Kakek!?" katanya berseru seraya memeluk kakeknya yang
sudah sangat lamaaaaaaaa sekali tidak bertemu. Mereka berpelukan.

"Aku kangen sama kakek.....," kata anak itu. Tiba-tiba saja dari
sudut mata sang kakek mengalir air mata sebening kaca. Kembali
terbayang saat-saat dimana dia menggendong cucunya ketika masih
bayi. Membimbingnya untuk belajar berjalan. Mengajarinya naik
sepeda. Menemaninya bermain ditaman. Rasanya, dia masih ingin
menjalani semuanya itu. Tetapi, waktunya hanya satu hari saja.
Sejenak, dia berpikir tentang apa yang akan dilakukannya bersama
sang cucu tercinta. Dia ingin itu menjadi saat paling istimewa bagi
cucunya. Dia ingin itu menjadi bekal paling berarti bagi
kehidupannya kelak. Dan dia ingin, kesempatan terakhir yang
dimilikinya menjadi warisan paling bermakna darinya.

"Cucuku," katanya dengan penuh kasih. "Kakek ingin mengajakmu
berjalan-jalan."
"Naik sepeda seperti dulu, Kek?" Mata cucunya berbinar-binar.
"Tidak," kata sang kakek."Kita akan terbang...." lanjutnya kemudian.

Sang cucu berteriak kegirangan. "Horeeeee aku akan terbang. Aku akan
terbang!" serunya sambil berlari-lari dari ruang tamu. Lalu ke
dapur. Ke halaman belakang. Kemana-mana. "Aku akan terbang bersama
kakek," katanya lagi. Bunda dan Ayahnya geleng-geleng kepala sambil
tersenyum."Ayah, Bunda, aku mau terbang bersama kakek ya?" suara
renyahnya memenuhi udara. Sekali lagi Ayah dan Bunda saling
bepandangan. Lalu mereka tersenyum. Dan; "Iya, sayang. Titip salam
sama kakek ya..." kata Bunda sambil mencubit pipinya yang tembem.
Anak itu lari kehalaman depan. Memeluk kakeknya. Lalu mereka terbang.

Dari ketinggian, mereka melihat gedung menjulang. Gedung yang indah.
Lagi megah. "Lihatlah gedung itu Cucuku," katanya. Sang cucu
melihatnya dengan kagum. Ribuan orang keluar masuk gedung itu,
sambil sesekali mereka berdecak kagum atas keindahannya. "Dulu,
kakek ikut membangun gedung itu," katanya. Dan benar, diantara
dinding yang kokoh anak itu melihat sidik jari kakeknya. Lalu mereka
kembali terbang.

Tiba-tiba, mereka melihat sebuah taman yang indah. "Lihatlah taman
itu Cucuku," kata sang Kakek. Sang cucu melihatnya dengan takjub.
Ribuan orang asyik  bermain ditaman itu. "Dulu, kakek ikut menanam
pepohonan disana," katanya. Dan benar, ketika mereka melintas diatas
taman itu, semua pohon yang dulu ditanam sang kakek merunduk penuh
hormat. Lalu, mereka kembali terbang.

Dari atas sana, mereka melihat jembatan panjang. Melintang diatas
sungai yang lebar lagi dalam. "Lihatlah jembatan itu Cucuku," kata
sang kakek. Ribuan kendaraan berlalu lalang diatasnya. "Dulu Kakek
ikut menancapkan tiangnya," Dan benar, ketika mereka terbang
diatasnya, tiang-tiang jembatan itu membungkuk khidmat. Lalu, mereka
terbang kembali.

Sepanjang hari itu, sang kakek menunjukkan kepada cucunya semua hal
yang sudah dibangunnya ketika dia masih hidup. Dan sang cucu begitu
terkagum-kagum atas semua pencapaian yang sudah dibuat oleh
kakeknya. Lalu dia berkata; "Aku ingin seperti Kakek," katanya.
"Oh, ya?" jawab sang Kakek.

"Kalau aku sudah menjadi kakek-kakek nanti," kata anak itu, "Aku mau
membawa cucuku terbang."
"Oh, ya?" kata sang kakek.

"Aku mau tunjukkan kepadanya semua yang pernah kubuat semasa
hidupku."
"Kamu akan membangun gedung-gedung seperti kakek?" katanya.
"Tidak." jawab sang cucu.
"Taman?"
"Tidak."
"Jembatan?"
"Tidak."

"Lantas, apa?"
"Aku mau membangun apa saja yang bisa membuktikan bahwa aku pernah
ada." kata cucunya dengan mantap.

"Kakek belum mengerti apa yang kamu katakan, Cucuku." kata sang
kakek dengan penuh kebanggaan.
"Aku ingin agar semua orang bisa mengenang aku meskipun aku sudah
meninggal kelak, Kek."
"Oh, ya?"
"Iya." katanya. "Seperti orang-orang yang saat ini mengagumi semua
yang pernah kakek buat dimasa kakek hidup dulu."

Kakeknya tersenyum bahagia. Bermanfaat sudah waktu satu hari yang
Tuhan berikan kepadanya. Dihadapannya kini berdiri seorang anak
kecil yang siap melakukan sesuatu dalam hidupnya. Sesuatu yang layak
dikenang. Sesuatu yang patut dikagumi. Sesuatu yang pantas diingat.
Sesuatu yang membuktikan bahwa dia pernah ada.

"Mari kita pulang Cucuku," kata sang kakek. Lalu mereka kembali
terbang.

Hari sudah malam ketika mereka tiba dirumah. Dan saat anak itu
berada dihadapan Ayah dan Bunda, mereka seolah-olah terkejut
karenanya. "Darimana saja kamu, Nak?" kata mereka dengan cemas.

"Aku habis terbang bersama, Kakek." kata anak itu.
"Jangan main-main, Nak." kata mereka. "Kamu tidak boleh lagi pergi
seperti itu."
Anak itu tersenyum. "Baiklah, Bunda." katanya. "Tapi kalau aku sudah
besar nanti," lanjutnya. "Aku akan membuat sesuatu yang menjadi
bukti bahwa aku pernah ada."

Ketika anak kecil itu tertidur pulas, Ayah dan Bunda memandang
wajahnya yang bening dalam tidur penuh senyum. Ayah Bunda saling
pandang, lalu mereka berkata;"Bukti bahwa kita pernah ada?" Ya.
Bukti bahwa kita pernah ada.

Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://www.dadangkadarusman.com/

Catatan Kaki:
Kakek masih sesekali datang melalui mimpi-mimpi saya. Dengan
wajahnya yang teduh. Dan tutur katanya yang halus. Beliau memandang
dari kejauhan, seolah-olah berbisik; "bukti, bahwa kita pernah
ada....".

Tidak ada komentar: